Ada sebuah pertanyaan berikut, “Apakah orang yang selalu merasa cukup tidak jauh lebih baik dibanding mereka yang tidak pernah puas dan selalu punya keinginan untuk menjadi lebih?” QS
Dalam kisah Nabi Muhammad, ketika dia merasa cukup dengan kaumnya munkgin Islam tidak akan muncul di timur tengah, kegelisahan yang muncul dari Nabi Muhammad pada kaumnya membuat dirinya untuk melakukan kontemplasi dalam gua hira hingga dia menjadi Nabi, itu mungkin seberkas cerita dari Nabi Muhammad, walau ada juga kisah lain seperti hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah bisa menjadi salah satu pendukung dari kaum progressif untuk menjadi lebih dari yang sebelumnya, namun sepertinya tidak semua bentuk progressif bisa menjadi sesuatu yang progressif, seperti halnya kisah Kaum Bani Israil yang menginginkan lebih dari air yang dikeluarkan Nabi Musa, meminta untuk ditumbuhi banyak hal di daerahnya. Bahkan sikap tidak merasa cukupnya seorang, pebisnis untuk melakukan ekspansi yang terkadang menindas orang lain.
Diam tidak selamanya berhenti, bahkan Nabi Muhammad mencontohkan tentang berdiam di gua hira. Diamnya Nabi tidak berarti dia berhenti pada status quo, tapi dia mencoba mengatasi kegelisahaannya disana untuk memperoleh kesadaran Ilahiat, hingga dia bertemu dengan Malaikat Jibril. Bergerak pun tidak selamanya progressif, Sisifus dalam hikayat Camus menjelaskan bahwa usaha untuk terus melangkah ternyata juga merupakan kesia-siaan. Batu menggelinding lagi kebawah dan pada akhirnya, dia harus mengangkat batu lagi ke puncak gunung, dan menggelindingkan lagi kebawah, bahkan hingga kita sadari sebenarnya segala sesuatu itu berlangsung dalam keberulangan abadi, tak ada yang baru di dunia ini, ungkap Nietzsche.
Ingin progressif maupun tetap diam adalah sebuah kebebasan dari individu yang yang menghadapinya (sang Eksisensialis tentunya). Setiap orang bebas menentukan pilihannya. Tapi Sartre pernah berujar dalam “L’etre et Le neant” bagian “Etre avoir faire”, bahwa kebebasan dibagi menjadi 2, yaitu kebebasan yang Ilahiat dan kebebasan Libidal. Lalu bagaimana cara kita membedakan kedua kebebasan itu agar bisa mengambil keputusan tepat. Kebebasan Ilahiat berasal dari Cinta, sedangkan kebebasan libidal berasal dari nafsu mungkin itu cara sederhana dari para perawi hadis di masjid masjid, tapi menurut Heiddeger, setiap kesadaran dalam ruang waktu, dibentuk dari kecemasan (Angst), bukan dari ketakutan (“Furch”), kesadaran dari kecemasan itu yang mungkin dideskripsikan Sartre sebagai kebebasan Ilahiat, dalam kesadaran itu individu mengalami proses Eksisensialisasi, dimana dia akan membangun dirinya (membangun dalam kesadaran ruang dan waktu), dalam eksistensialisasi tersebut dia bersama takdir menentukan masa depannya. Dalam konteks eksistensialisasi Sartre menggambarkan bahwa seseorang menjadi dirinya, dan hal yang paling mudah untuk bereksistensi disini adalah sikap mengafirmasi segala kondisi yang ada (baik yang disebut sebagai masalah atau kesenangan) untuk bergerak dalam sintesa masa depan itu.
Lalu bagaiamana dengan ketakutan (“Furch”), ketakutan mungkin lebih dekat dengan sikap tidak mampu untuk mengafirmasi dirinya (mirip dengan pandangan alienasi pada dirinya). Hal ini ditandai dengan mudahnya pengaruh luar dirinya, hingga dirinya tidak mampu untuk jujur pada dirinya sendiri (alias tidak mampu untuk menjadi dirinya). Dia tidak bebas, dia menjadi seorang yang terjajah, dan biasanya hal-hal ini dipengaruhi oleh keputusannya mengambil tindakan pada kesadaran kebebasan libidal( jika dianalisa dengan pandangan Sartre). Dia akan mencari lebih tidak berujung tapi menjadi terasing dengan dirinya, jika dalam konteks yang jauh dia menjadi tidak sadarkan diri karena tidak mampu bereksistensi (hal yang mudah untuk menggambarkan ini adalah sikap yang tidak mampu mengafirmasi dirinya sendiri, atau tidak bisa jujur pada diri sendiri).
Sikap progressif ataupun diam keduannya bergantung pada keputusan sang Individu, kedua-duanya bisa bersifat Ilahiat, tapi keduanya juga bisa bisa bersifat libidal.