Zis Note

Catatan Takdir

10 Apr 2024

Manakah yang lebih mendahului circle dahulu atau skill dahulu? Dari pengalaman saya justru melihat bahwa circle ternyata mengikuti skill yang kita miliki.

Saya masih teringat ketika pertama membaca set dari rumi entah kalimat ini berasal dari kitab fihi ma fihi karya Jalaludin Rumi atau bukan ada satu kalimat yang masih teringat dalam kitab tersebut bahwa ingin mendapatkan keselamatan maka tinggalah di pesantren. Mengapa kalimat ini cukup mengubah saya?

Beberapa bulan kemudian saya mendatangi pesantren dan mengaji disana. Namanya juga pesantren, kebanyakan orang yang berada di pesantren adalah orang yang membaca kitab. Tapi menurut saya hal tersebut memang benar. Ada stigma bahwa orang dalam pesantren adalah orang yang dibuang dalam masyarakat. Mereka terkadang disebut dari sisa-sisa social junkies, katanya.

Saya yang datang ke pesantren untuk memenuhi kalimat dari Jalaludin Rumi tersebut akhirnya berada disana. Disana yang membaca beragam kitab arab gundul yang berwarna kuning dengan dibantu oleh ustaz disana. Saya tidak terlalu jago namun disana saya akhirnya memutuskan juga selain membaca karya dalam bahasa arab juga membacanya dalam bahasa Indonesia atau terjemahan. Saya mulai membaca karya karya dari Abu Hamid Al Ghazali (Ikhya Ulumudin, Minhajul Abidin, Bidayatul Hidayah, Ayuhal Walad), Ibnu At-thailah as Sakandri (al Hikam), Ibnu Arabi (Futuhat Al Makkiyah, Fusus al-Hikam).

Sepertinya takdir mengantarkan saya pada filsafat setelah mulai stagnan dengan karya-karya dari timur tengah tersebut. Mulai dari membaca karya The Birth of Tragedy dari Nietzsche, The Question of Concerning in Technology (Heidegger) dan karya lanjutannya seperti karyanya Jacques Derrida dan sebagainya.

Saya memang membaca karya-karya intelektual tersebut sebelum bertemu dengan banyak circle intelektual seperti circle saliharanya Gunawan Muhammad, IndoProgress Gus Fayadh. Semenjak itu saya berfikir ternyata bukan circle yang membentuk diri kita, tapi diri kita yang membentuk circlenya.

Oke mungkin sekarang waktunya kita berteori. Manakah yang lebih dahulu antara circle dan individu manakah yang paling berpengaruh satu sama lain. Kita asumsikan bahwa kita sebagai individu dibentuk oleh circle kita. Ketika kita melihat bahwa circle mempengaruhi perkembangan individu bisa jadi kita akan berkembang seperti circle yang kita gabungi. Ada status kuo ketika circle juga tidak memilih untuk berkembang artinya individu yang ingin berkembang juga akan tersisih dari circle tersebut. Sebagai seorang individu bisa jadi individu tersebut harus menjaga agar tetap compactible dengan circlenya. Jika tidak maka akan pergi atau dikick dari circle tersebut, artinya keputusan individu menjadi hal yang krusial dari kondisi kolektif circle. Menggerakan circle lebih susah karena beban massa yang banyak. Seperti kapal pesiar yang untuk berbelok perlu beberapa kilometer sebelumnya harus persiapan, tapi bagaimana jika kita ingin memimpin sebuah kaum. Bisa jadi pemimpin yang dipilih dari circle tersebut memang merepresentasikan dari masa kolektif disana. Artinya tidak semua pemimipin terpilih dengan kualitas dari massa kolektif dengan kualitas baik. “Ah kan yang penting jadi pemimpin. Biar katro, bapuk dan kardus yang penting punya masa yang banyak.”

Mungkin kita perlu mengutamakan para individu dulu untuk tetap cerdas agar yang muncul dari sebuah circle bukan pemimpin yang “katro, bapuk atau kardus”. Pemimpin merepresentasikan masyarakatnya, masyarakat merepresentasikan pemimpinnya, tapi kita tetap memiliki otoritas pada diri kita untuk berkembang atau tidak. Sebelum memiliki circle yang berkualitas bisa jadi teorinya kita perlu menaikan kualitas diri kita. Bisa jadi “Circle yang berkualitas akan mendapatkan membernya.”