Jasmerah adlaah sebuah istilah yang digunakan oleh Soekarno dalam pidato tahun 1966. Jas merah merupakan singkatan dari “jangan sekali-kali meninggalkan Sejarah”, akronim tersebut merupakan akronim yang saya temukan ketika menelisik kembali perekonomian peralihan orde baru. Dan mungkin bisa dikaitkan dengan ekonomi sekarang ini.
Beberapa penafsiran menarik untuk dibahas, mulai dari tafsiran bahwa akronim itu menunjukan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dan pernah menundukan bangsa lainya, hingga tafsiran untuk menunjukan jasa Soekarno pada negeri ini. Mungkin fakta sering diagungkan oleh banyak orang, apalagi apa yang paling benar pada penafsiran tersebut, hingga akhirnya saya sependapat dengan Nietzsche bahwa fakta itu tidak ada yang ada hanyalah penafsira, sedangkan menafsir sendiri adalah cara manusia untuk ber-Ada (Hermeneutikanya Hans-Georg Gadamer). Lalu apa salahnya menafsir sembarangan, yang jelas Heidegger pernah mengungkapkan bahwa masa depan ditentukan dari bagaimana manusia bereksistensi, untuk itu bisa kita gunakan silogisme, bahwa dengan menafsirkan merupakan salah satu cara untuk menentukan masa depan.
Walau saya tidak terlalu yakin bahwa Presiden Soekarno pernah membaca karya dari Martin Heidegger mengingat presiden Soekarno sendiri lahir pada tanggal 6 Juni 1901 dan meninggal pada tahun 21 Juni 1970 sedangkan Martin Heidegger sendiri lahir pada tahun 26 September 1889 dan meninggal pad tahun 26 Mei 1976. Tapi memang kita tidak boleh menafsirakan teks diluar dari teks tersebut kata Dilthey. Heidegger pernah berujar bahwa pembahasan akan sejarah adalah bentuk kelupakan akan sejarah itu sendiri. Jika kita kaitkan bahwa menafsirakan Jasmerah tadi sebagai bentuk pengingatan akan sejarah bangsa Indonesia yang menundukan bangsa lain, mungkin itu berarti juga salah satu bentuk kelupaan Soekarno akan sejarah itu sendiri. Jika kita analisa dengan metode Heidegger tadi, bisa jadi tidak meninggalkan sejarah berarti bereksistensi dalam Sejarah itu sendiri, singkatnya kita berada dalam sejarah dan membangun sejarah dalam kerangka Zeitlichkeit (Saya menggunakan kata ini untuk membedakan waktu yang sebenaranya pada Dasein dengan Temporalitaan atau kemewaktuan yang berada diluar Dasein).
Bagi saya ekonomi menjadi menarik ketika ekonomi sebenarnya bukanlah tentang uang, tapi tentang kerja yang merubah nilai menjadi komoditas (Das Kapital, Marx), untuk itu dibahas disini tentang kerja itu sendiri. Kerja merupakan salah satu metode manusia bereksisteni, jika kita kaitkan dengan sejarah hal itu berarti kerja merupakan metode manusia bereksistensi pada sejarah itu sendiri. Apakah keluar dari kerja bisa berarti manusia keluar dari eksistensi? Bereksistensi berarti membawa kesadaran kita pada Zeitlichkeit (Waktu), Zeitlichkeit merupakan kesadaran abadi, dan Sejarah ada-di-sana (Dasein) bersama waktu. Itu berarti Soekarno ingin mengajak pendengar saat itu untuk melewati batas Temporalitas-Zeitlichkeit untuk menjadi diri-Nya, agar diri kita menjadi diri Kita sendiri (sebuah kalimat “L’ettre pour soi” milik Sartre yang berarti jadilah diri sendiri akan memeberikan gambaran tentang Jasmerah milik Soekarno).
Memang anak Pak Karno, Ibu Soekma sering berteriak, “Merdeka !!”. Manusia dikutuk untuk merdeka (L’Homme est condamne a etre libre kata Sartre), berksistensi berarti memerdekaan diri, dia membebaskan dirinya dengan masuk ke dalam Zeitlichkeit. Merdeka berarti ber-Ada dalam sejarah, dan dengan berada dalam eksistensi sejarah yang mungkin ingin dibawa secara kolektif (wkwk emang bisa??), mungkin diharapkan oleh Presiden Soekarno bisa membawa masa depan yang lebih baik, yang merdeka.